Menangkap Buaya atau Menertibkan Manusia?
Oleh
Wilson Bhara Watu
Pada
bulan Februari 2015 lalu, sebuah film yang diproduksi di bawah China Film Group
yang berjudul Wolf Totem diluncurkan. Film yang disutradarai oleh Jean-jacques
Annaund ini merupakan kisah yang diangkat dari sebuah novel semi autobiografi
dengan judul yang sama yang ditulis oleh Lü Jiamin (Jiang Rong). Diangkat dari
kisah peradaban pedalaman Mongol, film ini berkisah tentang tekad dari para
penduduk pedalaman Mongol yang selalu berusaha mempertahankan hidup di tengah
padang rumput sambil menjaga keseimbangan
dan kelestarian kelangsungan ekosistem di sekitar mereka. Kisah bermula dari
dua mahasiswa Bejing yang menjalankan praktik kuliah mereka di pedalaman
mongol. Mereka tinggal dan mengalami seluruh kehidupan warga pedalaman
tersebut.
Di
tempat itu, terdapat kawanan serigala yang hidup berdampingan dengan warga
setempat. Para penduduk sudah mempunyai sebuah tradisi untuk menghargai
keberadaan kawanan serigala dengan tidak berburu binatang yang menjadi makanan
serigala. Para penduduk tersebut juga memiliki ternak peliharaan mereka sendiri
sehingga mereka bisa bertahan hidup dari ternak peliharaan mereka. Suatu
ketika, sang kepala suku mengajak salah satu dari kedua orang itu untuk pergi
melihat bagaimana keseimbangan alam tersebut benar-benar dijaga. Mereka pergi
melihat peristiwa itu dari sebuah tempat di ketinggian.
Pada
musim tertentu, sebuah danau yang terletak di sekitar padang rumput membeku.
Itulah musim yang sangat ditunggu oleh kawanan serigala Mongol. Kawanan
serigala tersebut secara terorganisir mengintai sekelompok besar rusa. Pada
saat yang tepat, kawanan serigala tersebut secara bersama-sama mengejar
kelompok rusa tersebut namun bukan untuk menerkam. Mereka menggiring rusa-rusa
tersebut masuk dalam danau beku yang berada dekat padang rumput tersebut
sehingga rusa-rusa tersebut terjebak dalam danau beku itu dan mati kedinginan
di dalamnya. Rusa-rusa itu kemudian menjadi cadangan makanan bagi kawanan
serigala pada musim dingin.
Penduduk
setempat sudah mengetahui musim di mana peristiwa tersebut terjadi. Mereka juga
biasa mengambil rusa yang telah beku dari danau terbut untuk kebutuhan mereka
namun, mereka hanya mengambil yang mereka butuhkan dan tetap menghargai hak
milik kawanan serigala tersebut. Keseimbangan itu mereka jaga sehingga kawanan serigala
tidak pernah mengganggu kehidupan penduduk pedalaman Mongolia sebab keberadaan
mereka tidak diusik.
Keseimbangan
tersebut mulai rusak ketika salah satu penduduk Mongol membocorkan keberadaan
danau beku tempat kelompok rusa tersebut kepada orang-orang kota. Mereka
kemudian datang dengan peralatan modern dan mengambil semua rusa yang berada
dalam danau beku tersebut. Karena cadangan makanan mereka hilang, kawanan
serigala Mongol mulai kelaparan dan menyerang pemukiman penduduk pedalaman
mongol. Ternak-ternak mereka mulai hilang karena dimangsa kawanan serigala.
Kerusakan keseimbangan ekosistem tersebut semakin diperparah dengan adanya
pembukaan lahan baru di padang rumput tersebut bagi panduduk yang berasal dari
daerah lain. Habitat dan keberadaan kawanan serigala itu mulai tergerus dan
akhirnya punah.
Kisah
yang diangkat dalam film itu menunjukkan adanya kesalingterkaitan antara
tindakan manusia merusak keseimbangan lingkungan dengan terganggunya kehidupan
mereka. Itu artinya, ketika manusia melakukan tindakan destruksi terhadap alam,
tindakan tersebut akan berdampak kembali pada terganggunya kelangsungan hidup
mereka sendiri.
Baru-baru
ini Polda NTT berupaya membentuk satuan petugas penangkapan buaya (PK,
25/5/2015). Pembentukan satgas ini merupakan buntut dari keganasan buaya yang
menyerang penduduk yang berada disekitar sungai. Penyerangan buaya ganas ini
menimbulkan keresahan dan ketakutan para penduduk sekitar sehingga Polda
berinisiatif untuk ‘mengamankan’ buaya-buaya ganas dari sungai-sungai sehingga
para penduduk tidak merasa takut atau cemas lagi.
Namun,
jika kita berpikir lebih jauh, upaya penangkapan buaya bukanlah solusi yang
paling tepat. Peningkatan jumlah peristiwa buaya menyerang penduduk yang berada
di sekitar sungai akhir-akhir ini menandakan adanya gangguan ekosistem sungai
dan rawa-rawa yang merupakan habitat dari kawanan buaya. Itu berarti, jika
satu-satunya solusi yang ditawarkan adalah penangkapan atau bahkan pemusnahaan
buaya, bukan tak mungkin kerusakan eksistem itu akan semakin berdampak buruk
pada kehidupan penduduk sekitar dalam bentuk yang lain.
Peristiwa
penyerangan buaya ini tidak hanya terjadi di wilayah NTT saja, tetapi hampir di
setiap wilayah pemukiman penduduk dekat sungai-sungai besar dan rawa-rawa yang
ada di Indonesia. Beberapa tahun silam, setidaknya enam nelayan Desa Teluk
Pakedai, Kecamatan teluk Pakedai, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat hilang
dimangsa buaya katak (Crocodylus porosus). Buaya-buaya ini menyerang penduduk
setempat karena habitat mereka terganggu akibat pembukaan lahan besar-besaran
untuk tambak dan karena “illegal logging”. Mirisnya, tambak-tambak besar
tersebut justrus dimiliki oleh para penjabat pemerintahan setempat.
Selain
itu, penduduk di wilayah Sungai Karangan, tepatnya di Desa Karangan Seberang,
Kecamatan Karangan, Kutai Timur, memiliki persepsi seragam bahwa pangkal
maraknya serangan buaya beberapa tahun terakhir karena kerusakan ekosistem
akibat pengembangan perkebunan kelapa sawit. Pembebebasan lahan bagi
pengembangan kelapa sawit justru terjadi di sekitar daerah aliran sungai yang
tentu menyebabkan terganggunya habitat dari beberapa spesies satwa termasuk
buaya yang hidup di sekitarnya. Di wilayah-wilayah di Kalimantan tersebut,
penyerangan buaya terhadap para warga diakibatkan oleh pembukaan lahan secara
masif dan lemahnya regulasi terkait pembebasan lahan-lahan tersebut.
Di
NTT secara khusus, belum terdapat perhatian yang serius dari Badan Konsevasi
Sumber Daya Alam terkait terganggunya keseimbangan ekosistem yang menyebabkan
penyerangan buaya-buaya terhadap penduduk setempat. Upaya yang dilakukan baru
sebatas penangkapan buaya-buaya yang terdapat di sungai-sungai yang ada. Saya
pikir, upaya penangkapan saja tidak cukup. Kalau mau lebih serius, jika memang
kerusakan ekosistem yang ada sudah sedemikian besar maka perlu dibangun sebuah
ekosistem buatan bagi kawanan buaya untuk kelestarian dan kelangsungan hidup
buaya-buaya tersebut. Penangkapan tanpa tersedianya lingkungan yang cocok bagi
habitat buaya hanya mengubah masalah dari bentuk yang satu ke bentuk yang lain.
Selain itu penangkapan buaya-buaya tersebut tidak hanya menyebabkan masalah
kesimbangan lingkungan sekitar tetapi juga problemaatis secara kultural sebab
ada masyarakat-masyarakat budaya tertentu yang sangat menghormati keberadaan
kawanan buaya karena berkaitan dengan sejarah dan asal-usul mereka.
Selain
itu, regulasi terkait pembebasan lahan dan pembukaan lahan di sekitar daerah
aliran sungai perlu diperhatikan secara lebih serius dan tegas. Sebab, regulasi
yang lemah memberi kemungkinan besar bagi pembebasan lahan secara liar dan
masif yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan ekosistem yang ada. Yang terjadi
selama ini adalah bahwa konservasi lingkungan hidup dan keseimbangan ekosistem
sering lebih ‘mengalah’ dengan ketamakan para pengusaha yang membuka lahan
untuk bisnis mereka di daerah-daerah yang dilindungi dan pembukaan lahan secara
liar oleh para penduduk untuk tempat tinggal dan usaha mereka. Jika ini terus
dibiarkan maka bukan tidak mungkin bahwa kita sekarang sedang menggali kubur
kita sendiri.
Komentar
Posting Komentar