Apakah Evolusi Menghasilkan Spesies Manusia yang Lebih Baik?

ADOLF HITLER, pemimpin NAZI yang memerintahkan eksekusi sekitar delapan juta orang dan bertanggung jawab atas kematian jutaan orang lainnya, diceritakan oleh sekretarisnya Traudl Junge sebagai orang yang menyenangkan, ramah, dan kebapakan. Ia membenci kekejaman terhadap hewan. Ia adalah seorang vegetarian dan sayang pada anjingnya Blondi. Ia bahkan tidak dapat dihibur ketika Blondi, anjingnya, meninggal.

Pol Pot, pemimpin Kamboja yang karena kebijakannya sekitar seperempat dari rakyat negaranya meninggal dunia, dikenal sebagai guru sejarah Prancis yang bertutur kata lembut dan baik hati. Selama delapan belas bulan di penjara, Joseph Stalin selalu menunjukkan perawakan yang tenang dan tidak pernah berteriak atau mengumpat. Ia juga adalah seorang narapidana pria teladan, dan jelas bukan tipe orang yang kemudian akan memusnahkan jutaan orang demi kepentingan politiknya. Bagaimana mungkin, tokoh yang tenang, kalem, penyayang malah kemudian menjadi pemimpin yang otoriter, kejam, dan beringas? Kita perlu menyelami proses evolusi untuk menjawab pertanyaan ini.

Manusia mengalami proses evolusi secara biologis. Teori evolusi mengatakan bahwa spesies yang paling fit/cocok dengan kondisi lingkungan lah yang paling bisa bertahan dan berkembang biak dalam proses evolusi. Kita ambil contoh jerapah misalnya. Dahulu, jerapah memiliki panjang leher yang bervariasi. Mereka hidup di lingkungan dengan persaingan makanan tinggi, terutama daun di pohon tinggi. Dalam situasi ini, jerapah yang lehernya lebih panjang dapat menjangkau daun yang tidak bisa dijangkau oleh jerapah berleher pendek. Akibatnya, mereka lebih puny potensi untuk bertahan hidup dan berkembang biak. Lama-kelamaan, gen leher panjang menjadi dominan di populasi jerapah. Hasilnya, jerapah modern memiliki leher panjang sebagai hasil evolusi dari proses seleksi alam. 

Kita bisa memperluas pemahaman ini pada aspek psikologis spesies manusia. Dulu manusia hidup dengan beragam sifat agresif. Ada yang tingkat agresivitasnya sangat tinggi dan ada yang lebih rendah kadar agresivitasnya. Untuk bisa bertahan dalam lingkungan yang menantang (hewan buas, kelaparan, dan konflik dengan kelompok lain) manusia akan lebih mudah bertahan jika hidup dalam kawanan ketimbang individualis. Hidup secara berkelompok (dalam kawanan/suku) memberi keuntungan besar seperti berburu bersama, saling melindungi, dan merawat anak bersama. Karakter yang cocok untuk cara hidup kawanan atau kelompok adalah karakter dengan agresivitas yang lebih rendah.

Secara psikologis, evolusi menghasilkan manusia sebagai primata yang paling ramah. Kenapa? Karena individu yang terlalu agresif tidak cocok dengan cara hidup berkelompok, yang membutuhkan spesies yang bisa berkomunikasi, bekerja sama, dan memiliki karakter yang kurang agresif. Individu yang terlalu agresif justru membahayakan kelompok karena cenderung memicu konflik, menantang pemimpin, atau menyerang anggota lain. Ini mengganggu stabilitas kelompok dan menurunkan peluang bertahan hidup bersama. Hasilnya, dari waktu ke waktu, individu yang lebih kooperatif, tenang, dan mampu bekerja sama lebih mungkin untuk bertahan hidup dan berkembang biak. Hal ini menciptakan spesies yang relatif lebih jinak dan sosial.

Namun, di sinilah letak paradoksnya. Saat manusia berevolusi menjadi lebih baik, ramah, dan kooperatif, pada saat yang sama juga terjadi evolusi dalam hal kekerasan. Manusia tidak hanya berubah menjadi lebih baik, tetapi juga menjadi lebih kejam. Kok bisa? 

Richard Wrangham dalam Goodness Paradox menjelaskan bahwa ada dua tipe agresivitas: agresivitas reaktif dan agresivitas proaktif. Agresivitas reaktif bersifat impulsif, emosional, dan tidak direncanakan. Kita bisa melihatnya pada kawanan hewan yang saling menyerang karena berebut makanan. Tipe kekerasan ini cenderung dominan pada manusia-manusia agresif yang kemudian tereliminasi dalam proses evolusi. Sementara itu, agresivitas proaktif bersifat dingin, terencana, dan disengaja. Tipe proaktif ini dilakukan bukan karena emosi sesaat, tetapi untuk mencapai tujuan tertentu seperti menghukum, mengontrol, atau menjaga stabilitas kelompok. Misalnya, eksekusi terhadap individu yang dianggap membahayakan kelompok, atau penyerangan sistematis dalam perang. Dalam evolusi manusia, agresi proaktif justru lebih bertahan karena memungkinkan kelompok mengeliminasi individu berbahaya dan mempertahankan ketertiban sosial, sementara agresi reaktif yang tidak terkendali justru dianggap mengganggu kehidupan bersama. 

Dan jangan remehkan dampaknya—jutaan orang bisa meninggal akibat kekerasan jenis ini, seperti dalam perang atau pemusnahan massal. Jadi, evolusi tidak hanya menghasilkan spesies yang lebih ramah dan kooperatif, tetapi juga spesies yang punya kapasitas untuk melakukan kekerasan yang lebih terencana, masif, dan brutal.

Komentar

Postingan Populer